SELAMAT DATANG DI BLOG PONTREN DARUL QUR'AN CIMALAKA

KAMI SENANG ANDA DAPAT BERSILATURAHMI MELALUI BLOG KAMI 

VOKAL GROUP 'ARABI SANTRI DQ

VOKAL GROUP 'ARABI SANTRI DQ

MENERIMA SANTRI+SISWA BARU

TELAH DI BUKA PENDAFTARAN SANTRI-MURID BARU PONTREN DARUL QUR'AN TAHUN AJARAN 2012-2013 UNTUK PROGRAM: MTs TERPADU DQ + NYANTRI; NYANTRI + SEKOLAH FORMAL DI LUAR PONTREN; PAUD-TK ISLAM PLUS; DINIYAH TAKMILIYAH

Senin, 14 April 2008

Artikel Darul Qur'an


MENCARI BONUS DARI CALON PEMIMPIN
Cecep Parhan Mubarok
(Pimpinan Pontren Darul Qur’an Sumedang)
Alumnus Fak. Syari’ah UIN Bandung & Pasca Sarjana Ilmu Hukum UNISBA

Maraknya persiapan dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah di seluruh wilayah Republik Indonesia, baik untuk memilih gubernur, bupati ataupun wali kota sedikit banyak telah mempengaruhi ekspresi politik di tengah-tengah masyarakat dari yang santun kepada yang radikal, dari yang bersifat idiologis sampai kepada yang pragmatis
Ekspresi politik yang kini sedang mewabah di tengah masyarakat yaitu kebiasaan bagi-bagi “bonus” oleh calon kepala daerah atau meminta bonus dari calon kepala daerah. Hal ini kemudian menjurus kepada prilaku money politic, yang sangat jelas telah dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Upaya-upaya untuk mencari atau mendapatkan “bonus” telah dilakukan dengan berbagai cara oleh masyarakat dari yang sembunyi-sembunyi sampai dengan yang sangat pulgar, terkadang sangat risih dilihatnya. Masih wajar apabila hal itu dilakukan oleh masyarakat awam akan tetapi sebagian dari kalangan elit terdidik, pimpinan organisasi, ulama, akademisi, cendekiawan yang seharusnya memberikan pendidikan politik yang baik, ikut larut dalam kebiasaan tersebut.
Istilah “bonus” dalam ungkapan di atas sangat berkonotasi jelek, radikal dan sangat pragmatis dalam etika berpolitik. Bonus dalam format calon pemimpin masa depan seharusnya dipahami sebagai nilai plus dari suatu kebaikan pribadi pemimpin atau calon pemimpin yang parameternya tentu bukan uang, atau janji-janji gombal dalam kampanye calon pemimpin. Islam menyebut bonus sebagai “nafilah” (tambahan istimewa), oleh karena itu ketika muslim menambahi shalat fardlu dengan shalat sunnah menyebutnya shalat nafilah (Q.S al-Isra: 79) yang dilakukan dengan suka rela dan penuh keikhlasan. Berbeda halnya dengan bonus uang yang diberikan oleh calon pemimpin. Benarkah ikhlas? Rasa-rasanya terlalu naip dan bodoh kita apabila menyebutnya sebagai orang yang baik (dermawan), bahkan layak dijustifikasi perbuatan tersebut sebagai risywah (sogok) alias money politik, dan yang layak diberikan kepadanya paling tidak hukuman dari masyarakat pemilih untuk tidak menjadikanya sebagai pemimpin.
Banyak doktrin atau ajaran yang mesti kita pegangi dalam rangka mencari nilai tambah dari calon pemimpin, baik yang bersumber dari nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia maupun dari ajaran agama yang hidup di negeri ini, yang tentu satu sama lain saling melengkapi dan tidak ada pertentangannya. Misalnya agama Islam yang sangat kaya dengan spiritualitas politiknya. Politik (siyasah) bukan hanya sekedar aktifitas kemasyarakatan (mu’amalah ijtima’iyyah) yang hukumnya fardlu kifayah atau sunah yang harus diikuti, tetapi lebih jauh dari itu keikutsertaan orang islam dalam menentukan masa depan bangsa termasuk menentukan pemimpinnya merupakan ibadah. Sehingga jelas parameternya bukan materi yang hanya sesaat, apalagi dibumbui dengan kecurangan dan pembodohan terhadap masyarakat, padahal justru seharusnya mereka kelak harus dicerdaskan oleh calon pemimpin itu.
Bonus Istimewa (nafilah) yang patut dicermati dari calon pemimpin adalah sebagaimana yang telah Allah berikan kepada para utusanya. Hal ini terungkap dalam beberapa ayat al-Qur’an diantaranya surat al-anbiya ayat 72-73, dimana Allah memberikan tambahan istimewa kepada Ibrahim selain diberi nabi Ismail, juga diberi Ishak dan Ya’kub, yang kemudian mereka dijadikan oleh Nya sebagai pemimpin yang shalih yaitu orang-orang yang dikaruniai keistimewaan-keistimewaan sebagai berikut:
1. Mereka selalu ingin menuntun umat yang dipimpinnya atas dasar perintah Allah (yahduuna biamrina). Kemampuan dari calon pemimpin untuk menuntun ummatnya jelas sangat memerlukan kecerdasan (fathanah), kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Ia adalah sosok calon pemimpin yang akan benar-benar menjalankan kepercayaan yang diembannya (amanah), yang bukan hanya basa basi politik, melainkan secara nyata terimplementasikan dalam kehidupan sehari-harinya (shiddiq), dapat menjadi panutan yang baik (qudwah hasanah) bagi orang yang dipimpinnya, sebagaimana terbaca dalam filosofi kepemimpinan bangsa kita yaitu ing ngarso sungtulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.
2. Misi yang dijalankan mereka adalah selalu mengajak dan membuka peluang (tabligh) untuk mengerjakan kebaikan (fi’l al-khairaat) serta mempunyai kemampuan menutup rapat-rapat pintu kemaksiatan. Dengan kekuasaan yang ada ditangannya, ia mampu menegakan keadilan dan kebenaran, melindungi dan mengayomi hak-hak dasar orang yang dipimpinnya.
3. Mendirikan shalat (iqamat al-shalah) atau sembahyang bagi non muslim adalah identitas keimanan dan ketaqwaan dalam keberagamaannya, jauh dari kesombongan dan keangkuhan dalam kepemipinannya, tidak otoriter dan demokratis. Hikmah dari ketaatannya dalam melaksanakan ibadah shalat mampu untuk menebarkan kedamaian di tengah-tengah ummat yang dipimpinnya. Mampu menyerukan yang makruf dan mempunyai kekuatan dalam mencegah kemungkaran, karena hidupnya selalu dilindungi dan diterangi oleh sinar Tuhannya.
4. Memberikan zakat (ita’al-zakah), merupakan cerminan potensi kedermawanan, kepedulian (pilantropi) dari calon pemimpin untuk mampu memberikan kesejahtraan kepada wong cilik atau orang yang dipimpinnya kelak, disamping tentu membuka spirit untuk membuka peluang usaha (enterprenershif) dan kemandirian kepada rakyaknya, sehingga kemiskinan, kebodohan dan kekufuran mampu diantisifasinya. Berbeda halnya dengan bonus materi yang diberikan calon pemimpin secara tiba-tiba pada saat ia memperkenalkan diri sebagai calon kepala daerah nyaris mengundang bentuk perjudian baru dan berpotensi terjerumus kekufuran dan kemiskinan.

Keistimewaan seorang pemimpin yang demikian, niscaya ia adalah seorang pengabdi yang benar-benar tulus (kanuu lana ‘abidin), tanpa pamrih dan jelas tidak akan terbebani oleh ongkos-ongkos politik yang bermilyar-milyar rupiah yang telah ia keluarkan, insya Allah terbebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu marilah kita maju lebih cerdas dan cermat dalam mencari pemimpin untuk masa kini dan masa yang akan datang yang benar-benar dapat memberikan bonus istemewa seperti yang telah digambarkan dalam firman Allah swt. diatas.