SELAMAT DATANG DI BLOG PONTREN DARUL QUR'AN CIMALAKA

KAMI SENANG ANDA DAPAT BERSILATURAHMI MELALUI BLOG KAMI 

VOKAL GROUP 'ARABI SANTRI DQ

VOKAL GROUP 'ARABI SANTRI DQ

MENERIMA SANTRI+SISWA BARU

TELAH DI BUKA PENDAFTARAN SANTRI-MURID BARU PONTREN DARUL QUR'AN TAHUN AJARAN 2012-2013 UNTUK PROGRAM: MTs TERPADU DQ + NYANTRI; NYANTRI + SEKOLAH FORMAL DI LUAR PONTREN; PAUD-TK ISLAM PLUS; DINIYAH TAKMILIYAH

Rabu, 22 Oktober 2008

Ma'lumat, munajat dan ad'iyyat

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Dipermaklum dengan segala hormat kepada segenap orang tua yang telah membesarkanku, uwa, paman, bibi, saudara-saudaraku, guru-guruku, sahabat-sahabat, rekan-rekan kerja di PA Ambon, PA Lampung Selatan dan PA Garut, tetangga segenap santri, alumni santri dan keluarga besar pondok pesantren Darul Qur'an serta relasi-relasi yang membina hubungan dan kerjasama selama ini, seluruhnya yang saya hormati, saya cintai dan saya banggakan, bahwa dengan kudrah dan iradah serta limpahan karunia Allah swt. Insya Allah pada tahun musim haji 1429 H ini saya dengan isteri akan menunaikan ibadah haji ke baitullah menunaikan rukun Islam yang ke 5 yang insya Allah rencana keberangkatannya pada tanggal 25 Nopember 2008.
Sehubungan dengan itu kami sampaikan:
1.Permohonan maaf atas segala kealpaan, kekhilapan, baik yang di sengaja maupun yang tidak disengaja, karena selama bergaul sudah barang tentu kami banyak salah dan dosa.
2.Ucapan terima kasih yang sedalam-dalam atas segala do'a, suport, spirit, sumbangsih tenaga/pikiran serta finansial yang telah diberikan kepada kami, sehingga kami banyak mendapat nikmat dari Allah azza wa jalla yang mewajibkan kami untuk mensyukurinya.
3.Mohon do'a restu agar dalam perjalanan pelaksanaan haji kami diberikan kesehatan, kekuatan, dan kesabaran dalam melaksanakan ibadah haji sehingga menjadi haji yang mabrur dan mabrurah serta dapat kembali lagi ketanah air dengan selamat dan berkumpul kembali dalam ridha Allah.
Atas semua itu, sesungguhnya kamilah yang seharusnya mendatangi dan berkunjung kepada Bapak/Ibu/sdr. semua untuk menyampaikan hal tersebut, namun keterbatasan waktu dan kesempatan kami hanya dapat melakukannya melalui tulisan ini dan sekaligus mengundang untuk hadir dalam acara tasyakuran haji dan nikmat yang lainnya, pada :
Hari/tanggal: Minggu/9 Nopember 2008
Waktu : Jam 09:00 Wib s.d selesai
Tempat : Lingkungan Pontren Darul Qur'an Sumedang
Demikian kami sampaikan atas segala kesediannya dan dihaturkan terima kasih. Jazakallahu khairal jaza.
Wassalamu 'Alaikum Wr. Wb.
Drs. Cecep Parhan Mubarok, MH
Rd. Dewi Nurul 'Aini, S.Ag.
DO'A PEMBUKAAN KONGRES PTWP
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العلمين* حمدا يوافي نعمه ويكافي مزيده* ياربنا لك الحمد ولك الشكر كما ينبغي لجلال وجهك الكريم وعظيم سلطانك* اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين*

Ya Allah, Ya Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang,
Segala Puji dan syukur bagi-mu, Engkau Maha Pencipta alam semesta, hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan. Dengan rahmat dan pertolongan-Mu Kongres Nasional PTWP ke ... dapat terselenggara dengan baik.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa,
Anugerahkanlah kepada kami kekuatan dan bulatkan tekad kami untuk dapat melaksanakan Kongres Nasional PTWP dan melaksanakan hasil kongres tersebut dengan sebaik-baiknya Dan jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang bertawakkal Kepada-Mu. Sesunguhnya Engkau menyukai orang-orang yang bertawakkal.
Ya Tuhan Kami, ubahlah keadaan kami kepada arah keadaan yang lebih baik, masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, serta sejahtera lahir dan bathin.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Mendengar,
Jadikanlah seluruh Aktivis PTWP sebagai aparatur negara dan pelayan masyarakat yang disiplin, jujur, bersih dan mengedapankan pelayanan kepada msyarakat. Limpahkan kekuatan lahir batin kepada seluruh anggota PTWP pengetahuan, keterampilan serta profesionalisme dalam mengabdi kepada-Mu, negara dan bangsa serta masyarakat .

Kuatkanlah persaudaraan dan tali silaturahmi di antara sesama anggota PTWP dan keluarga besar Mahkamah Agung. Hiasi kami dengan budi pekerti luhur dan jauhkan dari sifat dan budi pekerti buruk, khianat, iri, hasud, dengan sesama. Ya Allah Engkau telah memberikan kesejahteraan, berkahilah kesejahteraaan kami itu sebagai rizki dan milik yang kami syukuri. Sesunguhnya Engkau sebaik-baiknya pemberi rezki.

Ya Allah, Tuhan Yang Maha Bijaksana,
Kami mohon kepada-Mu keamanan dan ketentraman serta kedamaian bangsa dan Negara kami, jauhkan kami dari perpecahan dan pertikaian yang merusak sendi-sendi keutuhan negara Kesatuan Republik Indonesia.



Ya Allah ‘A-limul Ghaibi Wasyahadah Rahmat.
Kami mohon limpahan ampun dan kehidupan yang penuh berkah sukses dalam usaha di dunia dan untuk akhirat, berilah kami kemenangan meraih sorga yang serba nikmat dan dari adzab nestapa neraka kami selamat.


Limpahkan kepada mereka kesehatan jasmani yang sempurna berprestasi dalam segela usaha dan upaya, sifat sportif dalam bertanding dan berolah raga, jauhkan mereka dari curang, menang tanpa makna.

Akhirnya doa dari segala pinta, sejahterakan kami hidup di alam fana, bahagiakan kami kelak di alam baka hindarkan kami dari nestapa adzab mereka, rahmat ampunan-Mu jua tentukan segala.

ربناعليك توكلنا وإليك أنبناواليك المصير*ربنا أتنا فى الدنيا حسنة* وفى الأخرة حسنة*وقنا عذاب النار* وأدخلنا الجنة مع الأبرار*يا عزيز يا غفار* يا رب العلمين* سبحان ربك رب العزة عما يصفون* وسلام على المرسلين* والحمد لله رب العلمين*

Makalah Nikah Sirri & Thalak Sirri

PERKAWINAN DAN PERCERAIAN DALAM NAUNGAN HUKUM *)
Drs. Cecep Parhan Mubarok, MH.
(Hakim Pengadilan Agama Garut)

A. PENDAHULUAN
Judul tulisan ini sengaja penulis pilih untuk memberikan jawaban singkat tentang topik diskusi yang digagas oleh panitia yaitu Pernikahan Sirri dan Thalak Sirri Perspektif Hukum Positif. Karena tidak ada satu negarapun di dunia ini yang akan membiarkan warganya hidup dalam ketidak-teraturan dan ketidak-tertiban. Sehingga untuk melindungi dan mengayomi masyarakatnya Negara mengharuskan dirinya menciptakan hukum untuk memberikan mashlahat yang sebesar-besarnya dan menghilangkan mudharat sekecil apapun. Hal tersebut dilakukan tentu untuk seluruh hajat kehidupan manusia termasuk hajat (kepentingan) pemeliharaan keturunannya (hifdz al-nasl) yaitu melalui pembentukan hukum dan peraturan perundangan-perundangan yang berkaitan dengan pelestarian lembaga perkawinan.
Penomena perkawinan dan perceraian di bawah tangan (sirri) banyak terjadi di Indonesia, baik dikalangan masyarakat biasa,para artis, para pejabat bahkan yang sangat tidak jarang diprakarsai dan restui oleh tokoh agama. Di tengah komunitas muslim meyakini bahwa perkawinan di bawah tangan sah menurut Islam karena telah memenuhi rukun dan syaratnya, sekalipun perkawinan tersebut tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama, atau perceraian itu telah sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya, sekalipun perceraian itu dilakukan di luar sidang pengadilan. Akibat pemahaman tersebut maka timbul dualisme hukum yang berlaku di negara Indonesia ini, yaitu di satu sisi perkawinan itu harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama dan disisi lain tanpa dicatatkanpun tetap berlaku dan diakui dimasyarakat, atau di satu sisi perceraian itu hanya sah bila dilakukan di depan sidang Pengadilan, di sisi lain perceraian di luar sidang Pengadilan tetap berlalu dan diakui di masyarakat. Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka timbul permasalahan pokok yaitu bagaimana keabsahan pernikahan dan perceraian menurut hukum Islam yang berlaku di Indonesia (Hukum Positif) ?. Inilah yang akan kita diskusikan dalam tulisan singkat berikut:

B. PEMBAHASAN
Hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah merupakan unifikasi dari seluruh sistem hukum yang pernah ada di negeri ini, baik hukum Islam, hukum adat maupun hukum barat yang selanjutnya menjadi sistem hukum nasional. Namun demikian sebagai ummat Islam kita patut berbangga karena Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No 9 tahun 1975 muatannya sangat kental dengan semangat pembentukan syari’at Islam (ruh al-tasyri’il Islami), terlebih setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 yang kemudian diamandemen oleh UU No 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, di samping telah menguatkan kesempurnaan penegakan hukum Islam di Indonesia juga telah mendorong lahirnya peraturan perundangan-undangan yang lain yang menambah kelengkapan hukum Islam yang berlaku di Indonesia, seperti Kompilasi Hukum Islam melalui INPRES No. 1 tahun 1991 yang mengatur tentang hukum perkawinan (hukum Keluarga), Kewarisan, wasiat, hibah dan shadaqah. UU tentang Haji, UU tentang Pengeloaan Zakat dan yang terbaru lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Peraturan peraturan perundang-undangan tersebut merupakan hasil perjuangan dan pemikiran para ulama dan cendekiawan muslim Indonesia yang sudah barang tentu lahirnya tidak mudah seperti membalikan tangan tetapi melalui upaya-upaya pengerahan segala kemampuan termasuk melewati perjuangan supra struktur politik maupun inpra struktur politik yang akhirnya menjadi hukum positif di tanah air tercinta Indonesia. Selanjutnya adalah bagaimana tugas kita sekarang dalam menghargai perjuangan, pengorbanan ulama-ulama kita itu? Mereka telah menunggu seabad lebih untuk menjadikannya seperti sekarang ini. Sebagai muslim kita selalu ta’dzim kepada mereka dan kita berlindung kepada Allah Swt. pantang untuk mengkhinati mereka sepanjang mereka tidak maksiat kepada Allah. Inilah wujud implementatif dari pemaknaan yang berbeda dalam penafsiran Surat An-Nisa ayat 59 yang Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan kepada ulil amri (pemerintah / ulama).
Mengutip pendapat Abdurrahman Shaleh yang pernah terbaca oleh penulis, pembangunan hukum meliputi tiga dimensi: dimensi pemeliharaan dan pelestariaan penerapan hukum yang telah ada yang telah baik, dimensi pembaharuan dan dimensi penciptaan. Perjuangan penegakan hukum Islam oleh para ulama dan cendikiawan muslim tentu bukanlah sesuatu yang final atau finish, tetapi harus terus dipertahankan nilai-nilai hukum yang telah baik juga lebih memberikan kemaslahatan, tetapi sembari itu kita jalankan, tugas kita selanjutnya adalah menggali, mencari dan menemukan dengan pembaharuan yang lebih yang baik dan lebih mashlahat. Hal ini pula yang tersimpulkan dalam kaidah fiqhiyyah namun semangatnya sangat dalam dan luas:
Al-muhafadhzatu bi al-qadiimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadiid al-ashlah
Artinya: Memelihara nilai-nilai yang lama yang baik dan mengambil nilai-nilai yang baru yang lebih baik.
Menurut Imam Asy-Syathibi “jika aturan/hukum itu membawa kepada kemaslahatan, maka aturan /hukum itu harus dijadikan sebagai pegangan, dengan kriteria 1). Tidak bertentangan dengan maqashid al-syari‟ah yang dharuriyyah, hajiyyat dan tahsiniyyat, 2). Rasional, dalam arti bisa diterima oleh orang cerdik-cendikiawan (ahl al-dzikr), 3). Menghilangkan duka lara (raf’ al haraj)[1]. Dengan demikian maka upaya-upaya untuk kembali kepada tatanan yang tidak teratur dan tidak tertib merupakan suatu kemunduran dan pengkhianatan terhadap perjuangan kemashlahatan yang dilakukan oleh ulama dan pemerintah sehingga hukumnya dosa dan tidak legal.
Peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perkawinan nyaris telah memberikan perlindungan yang lebih mashlahat kepada kita sebagai warga Negara yang menganut agama Islam sehingga tidak dikenal pernikahan sirri dan thalak sirri. Karena peraturan perundang-undangan tersebut telah memberikan fungsi hukum yang tepat bukan hanya sekedar memberikan fungsi pengaturan dimana pernikahan sah apabila dilakukan menurut agama tetapi mempunyai fungsi penertiban seperti adanya pencatatan pernikahan sebagaimana terumuskan dalam pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo. pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi Hukum IslamInpres RI. Nomor 1 tahun 1991, ayat (1) berbunyi “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam harus dicatat, sedangkan ayat (2) berbunyi “Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah”.
Fungsi Penertiban dimaksudkan adalah untuk memberikan jaminan terpeliharanya tujuan perkawinan membentuk rumah tangga yang sejahtera lahir dan bathin, mawaddah, sakinah dan rahmah. Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menegaskannya bahwa tujuan perkawinan adalah 1). Untuk mendapatkan dan melangsungkan keturunan, 2). Untuk menyalurkan sahwatnya dan menumpahkan kasih sayang, 3). Untuk memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan, 4). Menimbulkan kesungguhan untuk bertanggungjawab dalam memenuhi hak dan kewajiban serta memperoleh kekayaan yang halal, 5). Untuk membangun rumah tangga/masyarakat atas dasar cinta dan asih sayang[2].
Demikian pula apabila terjadinya perceraian sebagai jalan keluar yang dharurat (emergensi exit), peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak mentolelir adanya perceraian yang liar (thalak sirri) yang sangat potensial merugikan salah satu pihak terutama pihak isteri dan anak-anak yang sering menjadi korban perceraian. Dengan perceraian dilakukan di depan sidang Pengadilan Sebagaimana diuraikan dalam pasal 39 ayat (1) Undang-undang nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan ke dua belah pihak”. Yang dimaksud Pengadilan adalah Pengadilan Agama bagi orang yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi orang yang beragama selain Islam seperti diperjelas oleh pasal 115 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. maka akan terjamin hak-hak isteri, suami dan anak-anak mereka.
Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat yang menerangkan tentang perceraian, surat Al-Baqarah dari ayat 227 sampai ayat 241, surat At-Thalaq ayat 1 sampai ayat 7, surat Al-Maidah ayat 35 dan lain sebagainya. Pada dasarnya ayat-ayat yang menerangkan thalak /perceraian menuntut adanya penertiban yang tidak lepas dari keterlibatan orang lain, artinya thalak itu tidak saja dilakukan oleh suami istri tetapi diketahui/disaksikan juga oleh orang lain terutama dihadapan Rasulullah. Kejadian-kejadian thalak selalu dihadapkan kepada Rasulullah, oleh karena itu turunnya ayat-ayat thalak adalah untuk mengoreksi dan meluruskan cara-cara thalak yang salah yang dilakukan oleh shahabat-shahabat Rasulullah. Sebagai contoh sebab turunnya ayat 230 surat Al-Baqarah adalah “ berkenaan dengan pengaduan Aisyah binti Abdurrahman bin Atik kepada Rasulullah saw. bahwa ia telah dithalak oleh suaminya yang ke dua (Abdurrahman bin Zubair) dan akan kembali kepada suaminya yang pertama (Rifa’ah bin wahab) yang telah menthalak bain, Aisyah berkata bolehkah saya kembali kepada suami yang pertama padahal saya belum digauli oleh Abdurrahman bin Zubair ?, Nabi menjawab tidak boleh kecuali kamu telah digauli oleh suami yang kedua”.[3]
Begitu juga hadits-hadits nabi yang menerangkan tentang thalak, kejadiannya selalu dihadapan Rasulullah saw. seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Dari Ibnu Abbas yang artinya “sesungguhnya Rakanah telah menthalak istrinya dengan thalak tiga pada tempat yang satu, ia merasa sangat sedih atas perceraian itu, kemudian Rasulullah bertanya kepadanya bagaimana caramu menthalak isterimu?, Rakanah menjawab thalak tiga sekaligus, 29 Rasulullah bersabda sesungguhnya thalak yang demikian itu adalah thalak satu rujuklah engkau kepadanya”.[4]
Dengan demikian setiap peristiwa thalak yang dilakukan oleh shahabat-shahabat Rasulullah selalu dihadapkan kepada Rasulullah, sehingga seandainya Rasulullah belum mengtahui hukumnya, Rasulullah akan mengadukannya kepada Allah maka turunlah ayat-ayat thalak, sedangkan apabila Rasulullah sendiri telah mengetahui hukumnya maka itulah hadits-hadits Rasulullah.
Rasulullah sendiri kedudukan adalah sebagai Pemimpin/Raja/Sulthan.Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa thalak itu harus diucapkan/ dijatuhkan dihadapan pemimpin/ sulthan/raja, bukan dihadapan sembarang orang. Kalaulah thalak itu boleh dijatuhkan kapan saja dan dihadapan sembarang orang, maka kaum laki-laki dengan nafsu serakahnya akan bebas menceraikan istri dimana saja dan kapan saja serta bebas pula untuk menikah lagi dengan siapa saja yang ia inginkan, setiap ia menginginkan wanita yang satu, maka ia akan menceraikan isterinya yang lain begitu seterusnya. Jelas perkawinan seperti ini bukan menjadi maslahat bagi kehidupan manusia, justru sebaliknya akan membawa madharat dan ini bertentang dengan “maqaashid as-syari‟ah”, oleh karena itu perceraian seperti ini tidak sesuai dengan hukum. Begitu juga masalah saksi dalam perceraian apakah perlu dihadirkan ?, dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama ulama-ulama fiqh baik dari golongan ulama salaf maupun golongan ulama khalaf bahwa dalam perceraian (thalak) tidak perlu saksi, dengan alasan thalak adalah hak suami, sedangkan golongan ke dua yang terdiri dari Ali bin Abi Thalib, Imran bin Husein, Muhammad Baqir, Za’far Shadiq, ‘Atha, Ibnu Zuraid, Ibnu Sirin, Syi’ah Imamiyah bahwa dalam perceraian (thalak) wajib adanya saksi, dengan alasan berdasarkan firman Allah dalam surat At-Thalak ayat dua.[5] Dalam firman Allah ayat dua surat At-Thalak disebutkan “ Apabila telah habis masa Iddah, maka rujuklah mereka dengan baik atau lepaskan (thalak) mereka dengan baik pula dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil”. Menurut Imam Suyuthi dan Ibnu Katsir “ ketika nikah harus dihadirkan dua orang saksi yang adil , ketika bercerai harus dihadirkan dua orang saksi yang adil dan ketika rujukpun harus dihadirkan dua orang saksi yang adil pula. Sedangkan untuk mengetahui keadilan saksi, maka saksi tersebut harus disumpah di depan sidang Pengadilan, karena Pengadilan yang mempunyai kekuasaan (wewenang) untuk mengurus masalah perceraian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendapat yang lebih kuat dan memberikan kepastian hukum serta memberikan kemaslahatan adalah perceraian yang dilakukan di depan sidang Pengadilan.
Memperhatikan uraian tersebut di atas maka law as a tool as social control and law as a tool as social angenerring (hukum sebagai control social dan hukum sebagai alat pemberdayaan masyarakat), telah dijalankan oleh Rasullah yang pada gilirannya harus dicontoh oleh masyarakat moderen dalam penegakan hukum sebagai implementasi amar makruf nahyi munkar. Karena nilai-nilai hukum yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits bukanlah nilai yang mengawang-awang diangkasa hampa tanpa makna tak pernah menapak di bumi. Melainkan implementasinya memerlukan siyasah syar’iyyah dalam wujud campur tangan kekuasan (tauliyah) baik legislative (pembuat undang-undang), eksekutif (pelaksana undang-undang) dalam hal perkawinan adalah KUA, maupun yudikatif (kekuasan peradilan/kehakiman) dalam menyelesaikan persengketaan-persengketaanya. Kaidah-kaidah berikut ini adalah kaidah yang terkait erat dengan siyasah syar’iyyah yang perlu diperankan oleh penguasa di satu sisi, namun disisi lain perlu peran serta masyarakat dalam meminimalisasi perbedaannya:
Tasharruf al-imam manuthun bil mashalahah
Artinya: “Pendayagunaan pemimpin harus berorientasi kemashlahatan”.
Ilzam al-shulthan yarfa' al-khilaf
Artinya: “Ketetapan penguasa menghilangkan perbedaan”
Perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari yang seharusnya, misalnya pernikahan dan perceraian dilaksanakan oleh aparat yang tidak berwenang atau tidak ditunjuk oleh undang-undang adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan semangat penegakan hukum Islam dan layak mendapatkan hukuman (sanksi).

C. KESIMPULANDari uraian tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:Melaksanakan Pernikahan dan Perceraian yang didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang berlaku berarti telah ikut serta dalam mengintegrasikan semangat pensyari’atan hukum dalam fungsi Pengaturan secara substasial dan fungsi penertiban secara formal.Pernikahan dan Perceraian di bawah tangan telah menyalahi peraturan perundangan yang berlaku dimana hukum Islam dalam bidang perkawinan adalah merupakan bagian integral di dalamnya dari sistem hukum nasional, maka perbuatan tersebut di samping tidak mempunyai kekuatan hukum dipandang tidak sah menurut hukum.
Perkawinan dan perceraian di bawah tangan (sirri) berdampak sangat merugikan bagi pihak-pihak yang melakukannya, terutama bagi isteri dan anak-anak keturunan mereka, baik secara hukum maupun sosial.

Wallahu a’lam bish shawab
Garut, 22 Oktober 2008
*) Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel yang diselenggarakan oleh KUA Tarogong Kaler dan Tarogong Kidul pada tanggal 22 Oktober 2008.
[1] Asy-Syathibi. Al-Muwafaqat fi Ushulisy Syari‟ah. Al-Maktabah al-Tijariyah Mesir: hal 172.
[2] Imam Ghazali. Ihya „Ulumuddin. Usaha Keluarga. Semarang: Juz 2. Hal. 25
[3] KH. Qomaruddin Shaleh Dkk. Asbabun Nuzul Latar belakang Historis Turunnya ayat-ayat Al-Qur‟an. CV.Diponegoro. Bandung: Cet. Ke 6 Tahun 1985. Hal 79
[4] Imam Muslim. Shahih Muslim. CV. Dahlan. Bandung: Juz I Hal. 629-630
[5] Syekh Sayyid Sabiq. Fiqh As-Sunnah. Darul Fikri. Bairut Libanon: Jilid 2. Hal 220